Indonesia telah lama menghadapi tantangan besar dalam pemberantasan korupsi, salah satunya terkait dengan pengembalian aset hasil tindak pidana. Selama ini, banyak pelaku korupsi yang berhasil menghindari penyitaan harta hasil kejahatannya karena lemahnya regulasi yang mengatur proses perampasan aset. Rancangan Undang-Undang tentang Perampasan Aset menjadi salah satu solusi yang telah lama didorong oleh pemerintah, namun tak kunjung disahkan.
Kini, dinamika baru muncul ketika Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Supratman Andi Agtas menyatakan bahwa Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menunjukkan ketertarikan untuk mengambil alih inisiatif legislasi atas RUU tersebut. Sebuah langkah politik yang menimbulkan banyak interpretasi—baik sebagai angin segar bagi pemberantasan korupsi, maupun sebagai manuver politik yang perlu dicermati secara kritis.

Latar Belakang: Mengapa RUU Perampasan Aset Dibutuhkan?
Selama ini, penindakan terhadap pelaku korupsi maupun kejahatan ekonomi sering kali terhambat oleh proses hukum yang panjang dan rumit, terutama dalam hal menyita dan mengembalikan aset negara. Sistem hukum pidana Indonesia cenderung menuntut bahwa aset dapat disita hanya jika sudah ada putusan pidana yang berkekuatan hukum tetap (inkracht).
Padahal, pelaku korupsi sering kali mengalihkan atau menyembunyikan asetnya di luar negeri, di rekening fiktif, atau atas nama orang lain. Hal ini menyulitkan proses penyitaan dan pemulihan kerugian negara. RUU Perampasan Aset diharapkan dapat memperkenalkan mekanisme “perampasan aset tanpa pemidanaan” (non-conviction based asset forfeiture) sebagaimana diterapkan di sejumlah negara maju.
Supratman Andi Agtas: Posisi Baru, Pernyataan Berani
Menteri Supratman Andi Agtas, yang menjabat sebagai Menkumham dalam Kabinet Prabowo-Gibran, menyampaikan bahwa DPR saat ini berminat untuk mengambil alih inisiatif legislasi atas RUU Perampasan Aset. Hal ini disampaikannya dalam berbagai kesempatan resmi di awal masa jabatannya, yang kemudian menimbulkan diskusi luas di ruang publik.
Menurut Supratman, pemerintah pada dasarnya tidak keberatan jika DPR ingin memegang inisiatif. Baginya, yang paling penting adalah substansi RUU tetap mengedepankan prinsip keadilan, akuntabilitas, serta efektif dalam membasmi korupsi dan pencucian uang. Ia menambahkan bahwa pemerintah akan mendukung penuh pembahasan RUU ini, apapun jalur formalnya.
Apa Artinya DPR Mengambil Alih Inisiatif?
Dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, proses legislasi dapat diajukan baik oleh pemerintah maupun DPR. Ketika DPR mengambil alih inisiatif, maka pembahasan draf awal akan berasal dari legislatif, dan pemerintah menjadi mitra pembahas dalam tahap selanjutnya.
Hal ini bisa dipandang sebagai bentuk partisipasi aktif parlemen, namun juga menimbulkan tanda tanya, mengingat selama ini RUU Perampasan Aset justru tersendat di DPR. Sejak pertama kali diusulkan pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, RUU ini selalu tertunda pembahasannya.
Jika kini DPR menunjukkan minat mengambil alih, maka perlu dipastikan bahwa tujuannya bukan untuk mengendurkan substansi, melainkan mempercepat pengesahan dengan komitmen pemberantasan korupsi sebagai landasannya.
Respons Masyarakat Sipil: Optimisme yang Disertai Kewaspadaan
Berbagai lembaga masyarakat sipil menyambut positif pernyataan Supratman, namun tetap menyuarakan kehati-hatian. Koalisi masyarakat anti-korupsi, misalnya, menegaskan bahwa proses pengesahan RUU ini harus terbuka dan melibatkan publik secara luas. Transparansi dalam setiap tahapan pembahasan menjadi syarat mutlak untuk mencegah intervensi atau pelemahan norma-norma hukum di dalamnya.
Aktivis antikorupsi juga mengingatkan bahwa DPR sebelumnya dinilai lambat merespons agenda reformasi hukum. Oleh karena itu, niat mengambil alih inisiatif legislasi harus dibarengi dengan komitmen politik yang kuat serta pembuktian melalui proses yang cepat dan kredibel.
Apa Saja Isi Pokok RUU Perampasan Aset?
RUU Perampasan Aset dirancang untuk memperkuat kerangka hukum terkait pengambilan harta kekayaan hasil tindak pidana. Beberapa poin penting dalam draf sebelumnya meliputi:
- Perampasan Aset Tanpa Putusan Pidana (Non-conviction Based Asset Forfeiture)
Memberikan kewenangan kepada negara untuk menyita aset yang terbukti berasal dari tindak pidana, meskipun tidak diikuti oleh putusan pengadilan pidana terhadap pemiliknya. - Pembentukan Pengadilan Khusus Aset
Gagasan membentuk lembaga peradilan khusus yang menangani kasus perampasan aset secara cepat dan profesional. - Pelibatan Lembaga Multisektor
RUU ini juga mengatur koordinasi antar-lembaga seperti KPK, Kejaksaan, PPATK, dan Kepolisian untuk menyelidiki dan mengidentifikasi aset hasil kejahatan. - Pengelolaan dan Pemanfaatan Aset Sitaan
Mengatur tata cara penggunaan hasil aset yang dirampas untuk kepentingan negara, termasuk pemulihan kerugian keuangan negara.
Hambatan yang Selama Ini Menghalangi
Beberapa hambatan utama yang menyebabkan RUU ini tak kunjung disahkan antara lain:
- Ketakutan akan Penyalahgunaan Wewenang
Ada kekhawatiran bahwa mekanisme perampasan tanpa putusan pidana dapat disalahgunakan oleh aparat penegak hukum untuk kepentingan tertentu. - Konflik Kepentingan
Sejumlah anggota legislatif diduga enggan membahas RUU ini karena dapat berpotensi menyasar lingkaran kekuasaan, termasuk elite politik dan bisnis. - Kurangnya Tekanan Politik
Pemerintah sebelumnya tidak menaruh prioritas tinggi terhadap pengesahan RUU ini, sehingga tak ada desakan kuat dalam Prolegnas.
Potensi Perubahan dengan Komposisi Pemerintah Baru
Pemerintah baru di bawah Presiden Prabowo dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka membawa energi baru dalam pembaruan hukum dan tata kelola pemerintahan. Penunjukan Supratman Andi Agtas sebagai Menkumham dipandang sebagian kalangan sebagai upaya menyelaraskan agenda hukum dengan kekuatan politik di parlemen.
Jika benar DPR serius ingin menginisiasi pembahasan RUU ini, maka ini bisa menjadi sinyal positif bahwa reformasi hukum menjadi agenda bersama antara legislatif dan eksekutif. Namun keberhasilan itu hanya akan terwujud jika prosesnya dijalankan secara terbuka, demokratis, dan tanpa kepentingan tersembunyi.
Implikasi Hukum dan Sosial
Pengesahan RUU Perampasan Aset akan memberikan implikasi besar bagi sistem hukum pidana Indonesia. Keberadaan mekanisme perampasan tanpa pemidanaan akan memperluas daya jangkau penegak hukum dalam mengejar kekayaan hasil kejahatan. Di sisi lain, reformasi ini juga akan menguji kemampuan sistem hukum kita dalam menjaga hak asasi dan due process of law.
Secara sosial, pengesahan undang-undang ini dapat meningkatkan kepercayaan publik terhadap komitmen negara dalam memberantas korupsi. Aset negara yang selama ini tersembunyi bisa dikembalikan dan digunakan untuk membiayai pembangunan serta layanan publik.
Perbandingan Internasional
Banyak negara yang telah lebih dulu mengesahkan undang-undang perampasan aset sebagai bagian dari agenda antikorupsi. Misalnya:
- Amerika Serikat dan Inggris telah menerapkan skema civil forfeiture yang memungkinkan perampasan aset walau tanpa dakwaan pidana.
- Italia dan Brasil menggunakan undang-undang ini untuk membekukan dan merampas aset mafia atau jaringan kejahatan terorganisir.
- Singapura memiliki prosedur cepat dalam menyita aset hasil kejahatan ekonomi lintas negara.
Indonesia memiliki peluang untuk mengambil praktik terbaik tersebut dan menyesuaikannya dengan konteks hukum nasional.
Kesimpulan: Ujian Nyata Komitmen Politik
Pernyataan Menkumham Supratman tentang minat DPR mengambil inisiatif RUU Perampasan Aset merupakan perkembangan yang patut diperhatikan dengan saksama. Jika benar langkah ini diambil untuk mempercepat pembahasan dan pengesahan, maka hal itu bisa menjadi titik balik dalam upaya reformasi hukum dan pemberantasan korupsi di Indonesia.
Namun jika inisiatif ini justru berujung pada pelemahan atau pengalihan substansi RUU, maka publik berhak untuk mempertanyakan motif di baliknya. Karena itu, pengawasan masyarakat sipil, media, dan akademisi menjadi sangat penting dalam mengawal proses legislasi ini.
RUU Perampasan Aset bukan sekadar produk hukum biasa. Ia adalah cermin dari sejauh mana negara ini serius menegakkan keadilan dan melawan korupsi. Dan keputusan untuk mengambil alih inisiatif legislasi, bagi DPR, bukan hanya soal prosedur, tetapi soal tanggung jawab moral di hadapan rakyat.
Baca Juga : Satpol PP Depok Gelar Patroli Jam Malam, Masih Dapati Remaja yang Masih Berkumpul